SEdXx5lkiVZf4jiMtlFWfVgHxR2UbYmUAP1TopcR

Belenggu Pandemi

pandemi-corona-virus

يَا أَيُّهَا النَّاسُ قَدْ جَاءَتْكُمْ مَوْعِظَةٌ مِنْ رَبِّكُمْ وَشِفَاءٌ لِمَا فِي الصُّدُورِ وَهُدًى وَرَحْمَةٌ لِلْمُؤْمِنِينَ

“Hai manusia, sesungguhnya telah datang kepadamu pelajaran dari Tuhanmu dan penyembuh bagi penyakit-penyakit (yang berada) dalam dada dan petunjuk serta rahmat bagi orang-orang yang beriman.” (QS.Yunus ayat, 57)

Hari Jum’at kemarin di masjid desaku. Sang Imam membuka takbir memimpin shalat. Jam’ah khusu’ menyelami dan mengamini. Surat al-‘Alâ dan lantunan terakhir al-Kahfi melantun indah menyapa gendang telinga. Masker biru tipis membungkus mulut sang Imam, laksana saringan penghayatan. Suaranya tetap indah tak berlawan. Aku berdiri di shaff depan sebelah kanan. Lebih dari sekedar khusu’ bahkan, meresapi setiap bacaan sang Imam. Aku yakin bukan hanya aku yang qolbunya tersiram ketenangan akan tetapi, puluhan hati jama’ah ikut terenyuh.

Tahiyat akhir tertib ditutup salam. Sang Imam menyerong kanan, jemarinya berdansa irama do’a. Sanandung zikir berganti-ganti. Lengang, sesekali memecah senyap. Do’a-doa lirihnya penuh raja’ menggoda Malaikat yang mendengarnya. Sang Imam menyudahi, menyerong lagi ke kiri. Tangannya sebahu menengadah manghdap kiblat, lantas kembali berkomat-kamit bermohon kepasrahan dan keselamatan.

Segera kutuntaskan rawatib dua rakaat, berharap nanti aku dapat menyalami tangan sang Imam. Aku bergegas mengambil posisi terbaik, menunggu sang Imam kelar. Tetapi belum sempat aku menyalami tangannya, jam’ah lain mendahuluiku. Sesaat aku melihat mereka dinasehati untuk menjauh. Tidak boleh mendekat. Sang Imam pun berlalu menginggalkan masjid tanpa tersentuh siapapun. Melangkah sambil memperbaiki masker birunya.

Niatku urung. Kejadian itu menyadarkanku akan arti belenggu. Belenggu wabah yang melanda. Belenggu pandemi yang mendera. Pandemi Corona yang celaka.

Sepenggal kisah di atas, tidak ada apa-apanya. Sebab, situasi di desa-desa masih berjalan kegiatan shalat berjama’ah. Berbanding terbalik jika kita mengamati situasi shalat berjama’ah di kota-kota besar, sebut saja Jakarta. Masyarakat kota tidak dapat lagi menikmati khusu’nya shalat berjama’ah. Mereka tidak dapat lagi bebas beribadah, berkumpul dan bercengkrama. Semua terbelanggu, terpasung dalam pagar dan gerbang-gerbang rumah.

Di pelosok desa, kegiatan shalat berjama’ah masih berjalan. Walau ada sebagai yang memilih beribadah di rumah. Semuanya sah-sah saja. Sebab Islam tidak memaksa sesorang dan pemeluknya mengerjakan ibadah yang diluar kesanggupannya. Namun tetap pada batas-batas dan hujjah yang syar’i. Bukan alasan yang dikarang-karang atau dibuat-buat.

Hari ini, semua menjaga jarak. Bukan hanya sang Imam, yang harus menjaga jarak dengan makmumnya. Atau, sang anak yang beda tempat tinggal dengan ibunya. Guru dengan murid. Pelatih dan pemain. Para ustad dengan santrinya. Para buruh, karyawan, tukang ojek, pengasong, penjual cilok pun semuanya menjaga jarak dengan cara menghindari kontak fisik secara langsung, menghindari kerumunan dan waspada dengan ikhtiar menggunakan masker pelindung.

Kita berdo’a semoga pandemic ini segera berlalu. Agar jarak renggang baik fisik dan batin kita dekat kembali. Amîn yâ rabbal âlamîn.

Tentang Penulis: Fadhil Sofian Hadi, Pemilik blog  Hadi Islamic Worldview.
Related Posts
SHARE

Related Posts

Langganan Artikel Terbaru

2 comments

  1. Menginspirasi, bagus sekali.
    Sila berkunjung ke blog saya: http://wirapati.raddien.com/2020/04/optimisme-indonesia-di-tengah-paranoid.html

    ReplyDelete
    Replies
    1. Alhamdulillah dan terima kasih. Semoga bisa bermanfaat bagi kita semua. Amin

      Delete

Post a Comment

x

Berlangganan

Dapatkan pemberitahuan melalui email setiap ada artikel baru.