Secara denotatif I'TIKAF berarti: Mendiami atau menetap di suatu tempat.
Secara konotatif berarti: berdiam diri di masjid untuk beribadah.
Siapa pun yang berdiam di masjid, kapan saja, siang atau malam, dengan niat beribadah, seperti memperbanyak shalat, berzikir, berdo'a, dan/atau membaca Al-Qur'an bisa disebut beri'tikaf.
Berdasarkan pengertian syar'inya maka terdapat beberapa hal yang harus diperhatikan:
I'tikaf menjadi wajib hukumnya jika ada orang bernazar atau berjanji kepada Allah.
I'tikaf seorang perempuan harus dengan seizin suaminya. Jika suami tidak mengizinkan, maka i'tikaf terlarang bagi perempuan. Siapa tahu suaminya sedang punya kebutuhan terhadap istrinya.
I'tikaf harus dilaksanakan di masjid, atau mushalla yang digunakan untuk shalat jamaah 5 waktu. Bagi laki-laki harus begitu.
Untuk perempuan, diperbolehkan i'tikaf di masjid jika ada tempat khusus bagi kaum perempuan. Kekhususan tempat itu bisa ditandai dengan sesuatu seperti tabir atau mungkin ruangan khusus. Sebaiknya perempuan yang beri'tikaf di masjid memiliki muhrim yang juga beri'tikaf di masjid yang sama atau teman perempuan lain yang juga beri'tikaf.
Jika tidak ada tempat khusus bagi perempuan?
Paksa takmir masjid untuk menyediakan.
Masa i'tikaf paling singkat adalah ukuran orang yang shalat dua rakaat secara ringan. Tidak ada batas maksimal masa i'tikaf, tetapi ukuran yang wajar adalah i'tikaf tersebut tidak membuat seseorang meninggalkan kewajiban-kewajiban hidupnya di dunia.
Dalam riwayat tentang khalifah Umar bin Khattab dikisahkan bahwa beliau mendapati sekelompok orang yang berbadan sehat sedang beri'tikaf di masjid. Umar bertanya, "Apa yang kalian lakukan?". "Kami sedang memperbanyak amalan dan berdo'a agar Allah mengaruniai kami rezeki." Umar pun marah dan menyuruh mereka pergi ke pasar untuk bekerja mencari rezeki seraya berkata, "Langit tidak menurunkan hujan emas atau pun perak."
Kecuali untuk membayar nazar, maka i'tikaf adalah amalan sunnah yang tidak boleh mengabaikan amalan wajib.
I'tikaf batal jika mu'takif (orang yang beri'tikaf) berniat membatalkan i'tikafnya dengan cara keluar dari masjid. Jika keluar dari masjid untuk keperluan mendesak, sebentar, dan tidak diniatkan batal i'tikaf, maka i'tikafnya tetap ON, tidak batal. Umpamanya mau berwudlu', atau buang air, atau mengambil bekal sahur jika tempat mengambilnya dekat dengan masjid.
Orang yang batal i'tikafnya bisa menyambung i'tikaf dengan niat baru.
Di bulan Ramadhan ini, daripada begadang di rumah, lebih baik i'tikaf di masjid bersama teman-teman dan keluarga. Boleh ngobrol, diskusi, sambil minum kopi, diselingi dengan membaca Al-Qur'an, shalat sunnah, zikir, dan do'a... Asal jangan main kartu sambil i'tikaf.
Ditulis oleh K.H. Amir Ma'ruf Husein, S.Pd.I., M.M. Di akun Facebook pada 11 Mei 2020
Secara konotatif berarti: berdiam diri di masjid untuk beribadah.
Siapa pun yang berdiam di masjid, kapan saja, siang atau malam, dengan niat beribadah, seperti memperbanyak shalat, berzikir, berdo'a, dan/atau membaca Al-Qur'an bisa disebut beri'tikaf.
Berdasarkan pengertian syar'inya maka terdapat beberapa hal yang harus diperhatikan:
- Syarat i'tikaf.
- Hukum i'tikaf.
- Tempat i'tikaf.
- Masa i'tikaf.
- Pembatal i'tikaf.
- seorang muslim,
- akil,
- mumayyiz (anak yang sudah bisa membedakan sesuatu, umpamanya bisa membeli sesuatu dengan mengetahui harga barang dan tahu berapa uang kembalian yang harus diterima),
- suci dari hadats besar, dan
- suci badan dan pakaian dari najis.
I'tikaf menjadi wajib hukumnya jika ada orang bernazar atau berjanji kepada Allah.
I'tikaf seorang perempuan harus dengan seizin suaminya. Jika suami tidak mengizinkan, maka i'tikaf terlarang bagi perempuan. Siapa tahu suaminya sedang punya kebutuhan terhadap istrinya.
I'tikaf harus dilaksanakan di masjid, atau mushalla yang digunakan untuk shalat jamaah 5 waktu. Bagi laki-laki harus begitu.
Untuk perempuan, diperbolehkan i'tikaf di masjid jika ada tempat khusus bagi kaum perempuan. Kekhususan tempat itu bisa ditandai dengan sesuatu seperti tabir atau mungkin ruangan khusus. Sebaiknya perempuan yang beri'tikaf di masjid memiliki muhrim yang juga beri'tikaf di masjid yang sama atau teman perempuan lain yang juga beri'tikaf.
Jika tidak ada tempat khusus bagi perempuan?
Paksa takmir masjid untuk menyediakan.
Masa i'tikaf paling singkat adalah ukuran orang yang shalat dua rakaat secara ringan. Tidak ada batas maksimal masa i'tikaf, tetapi ukuran yang wajar adalah i'tikaf tersebut tidak membuat seseorang meninggalkan kewajiban-kewajiban hidupnya di dunia.
Dalam riwayat tentang khalifah Umar bin Khattab dikisahkan bahwa beliau mendapati sekelompok orang yang berbadan sehat sedang beri'tikaf di masjid. Umar bertanya, "Apa yang kalian lakukan?". "Kami sedang memperbanyak amalan dan berdo'a agar Allah mengaruniai kami rezeki." Umar pun marah dan menyuruh mereka pergi ke pasar untuk bekerja mencari rezeki seraya berkata, "Langit tidak menurunkan hujan emas atau pun perak."
Kecuali untuk membayar nazar, maka i'tikaf adalah amalan sunnah yang tidak boleh mengabaikan amalan wajib.
I'tikaf batal jika mu'takif (orang yang beri'tikaf) berniat membatalkan i'tikafnya dengan cara keluar dari masjid. Jika keluar dari masjid untuk keperluan mendesak, sebentar, dan tidak diniatkan batal i'tikaf, maka i'tikafnya tetap ON, tidak batal. Umpamanya mau berwudlu', atau buang air, atau mengambil bekal sahur jika tempat mengambilnya dekat dengan masjid.
Orang yang tertidur, yang kentut, tidak batal i'tikafnya. Apa saja yang bukan maksiat boleh dilakukan saat i'tikaf, kecuali bercumbu antara suami-istri.
Orang yang batal i'tikafnya bisa menyambung i'tikaf dengan niat baru.
Di bulan Ramadhan ini, daripada begadang di rumah, lebih baik i'tikaf di masjid bersama teman-teman dan keluarga. Boleh ngobrol, diskusi, sambil minum kopi, diselingi dengan membaca Al-Qur'an, shalat sunnah, zikir, dan do'a... Asal jangan main kartu sambil i'tikaf.
Ditulis oleh K.H. Amir Ma'ruf Husein, S.Pd.I., M.M. Di akun Facebook pada 11 Mei 2020
Post a Comment
Post a Comment