SEdXx5lkiVZf4jiMtlFWfVgHxR2UbYmUAP1TopcR

Ramadhaniyat; Puasa Untuk-Ku

puasa-untuk-ku
Banyak hadits qudsy shahih yang memuat penggalan kalimat: Puasa untuk-Ku, dan Aku (Sendiri) yang (menghitung dan) memberi pahalanya.

Beberapa riwayat shahih untuk hadits qudsy di atas adalah riwayat Bukhari, Muslim, dan Ahmad dari Abi Hurairah. Redaksi awal hadits agak berbeda, tetapi di ujung redaksinya sama, yaitu ungkapan tersebut di atas.

Hal ini agak mengherankan, karena pada hakikatnya Allah tidak membutuhkan apa-apa dari manusia, termasuk seluruh ibadah mereka. Allah berfirman dalam sebuah hadits qudsy:

Wahai hamba-Ku, andai seluruh manusia dan jin dari yang paling awal sampai yang paling akhir, seluruhnya menjadi orang yang paling bertaqwa, hal itu sedikitpun tidak menambah kekuasaan-Ku. Wahai hamba-Ku, andai seluruh manusia dan jin dari yang paling awal sampai yang paling akhir, seluruhnya menjadi orang yang paling bermaksiat, hal itu sedikitpun tidak mengurangi kekuasaan-Ku” (HR. Muslim).

Hadits yang disebut terakhir menjadi hadits dasar karena didukung oleh banyak ayat Al-Qur'an, bahwa Allah memang tidak membutuhkan apa-apa dari manusia. Dengan demikian yang perlu dikaji adalah hadits yang di dalamnya ada penggalan ungkapan "Puasa untuk-Ku".

Dari sisi sanad, tidak diragukan lagi keshahihannya. Kajian kita fokuskan ke matan, isi kandungan hadits.

Dari berbagai penjelasan para ulama tentang matan hadits tersebut dapat ditarik simpulan sebagai berikut:

1. Puasa memiliki perbedaan khas jika dibandingkan dengan shalat, zakat, haji, atau ibadah lainnya.


Semua bentuk ibadah selain puasa merupakan ibadah yang nampak, dan terkadang diperlukan interaksi dengan manusia lain. Adapun puasa merupakan ibadah rahasia antara sha'im (orang yang berpuasa) dengan Allah.

Sangat gampang bagi manusia untuk membatalkan puasanya, masuk ke kamar mandi, yakin tidak ada orang yang melihat, telan air beberapa teguk, batal puasanya. Setelah keluar dari kamar mandi tetap menjaga sikap, seolah-olah masih puasa. Ini bukan untuk ditiru. Saya tidak bertanggungjawab kalau ada yang mempraktikkannya.

Tetapi sha'im yang ikhlas tidak melakukannya, bahkan ketika berwudlu' atau ketika sikat gigi tetap berhati-hati agar tidak ada setetes air pun yang masuk ke kerongkongan. Dia tetap menjaga puasanya.

Itulah sebabnya Allah menangani sendiri pahala orang yang berpuasa, menghitung sendiri pahalanya, dan Dia langsung yang akan memberi ganjaran bagi orang yang berpuasa.

2. Dalam hadits qudsy yang ujungnya ada ungkapan "Puasa untuk-Ku" diawali dengan ungkapan: "Akan dilipatgandakan pahala orang yang berbuat baik, 10 kali lipat, 700 kali lipat, atau kelipatan yang tak terhingga."


Pelipatgandaan pahala tersebut untuk ibadah lain selain puasa. Khusus untuk puasa, Allah memiliki hitungan sendiri. Allah menyimpan perhitungannya.

Diyakini bahwa rumus perhitungan untuk pahala puasa jauh lebih besar daripada ibadah yang lain. Apalagi Allah memang Maha Pemurah. Apalagi jika Allah merasa senang.

Bagaimana nggak senang? Ada orang disuruh meninggalkan hal-hal yang awalnya halal dan boleh, taat meninggalkannya betul-betul karena Ikhlas lillahi ta'ala.

Lantas untuk apa Allah menyimpan sendiri pahala orang yang berpuasa?

3. Dalam hadits yang lain disebutkan bahwa puasa merupakan 'perisai', merupakan 'kafarat' bagi orang yang berpuasa. Apa maksudnya?


Dalam perhitungan amal saat kiamat kelak, manusia akan dimintai pertanggungjawaban atas semua perbuatan dan ucapan yang terjadi dalam rangka interaksi dengan sesama manusia.

Ketika si A menzalimi si B, maka pahala kebaikan si A akan dipindahkan ke B senilai kezaliman yang dilakukan oleh si A. Jika kebaikan si A sudah habis, maka dosa si B akan dipindahkan ke si A. Rumus ini disarikan dari hadits "Orang Bankrut di Akherat" riwayat Muslim dari Abi Hurairah.

Itu baru interaksi dengan B, bagaimana pula interaksinya dengan C, D, dan lainnya? Bisa saja pahala ibadah dan kebaikan yang sudah dilipatgandakan 10 kali, 700 kali, atau yang tak terhingga, bisa habis jika si A ternyata banyak melakukan kezaliman saat berinteraksi dengan manusia selama hidupnya di dunia. A bisa bankrut dan bisa saja diseret ke neraka.

Termasuk kezaliman adalah menipu orang lain, membicarakan kejelekan orang lain, mencuri hak orang lain, menghina, memfitnah, dan lain sebagainya.

Di saat itulah simpanan pahala puasa dikeluarkan oleh Allah untuk menebus kezaliman yang dilakukannya. Itulah makna "perisai". Itulah yang dimaksud dengan "kafarat" atas kezaliman yang pernah dilakukan oleh sha'im.

Semakin bagus kualitas puasa seseorang, tentulah perisainya semakin besar dan kuat, tentulah tebusannya lebih bisa diandalkan.

Ternyata... Hikmah puasa bukan untuk Allah, tetapi kembali juga kepada orang yang berpuasa. Jika demikian hakikatnya, maka terjemahan "Puasa untuk-Ku" kurang tepat.

Yang tepat adalah: Puasa urusan-Ku.

Mumpung Allah sendiri yang mengurus puasa kita, sebaiknya kita perbaiki dan tingkatkan kualitas puasa kita.

Ditulis oleh K.H. Amir Ma'ruf Husein, S.Pd.I., M.M. di akun Facebook pada 3 Mei 2020
Related Posts
SHARE

Related Posts

Langganan Artikel Terbaru

Post a Comment

x

Berlangganan

Dapatkan pemberitahuan melalui email setiap ada artikel baru.