Dila (bahasa Samawa) berarti pelita, lampu yang terbuat dari sumbu yang dibakar dengan bahan bakar minyak jarak, minyak kelapa, atau minyak tanah.
Leman... Di sini saya bingung. Semoga pembaca dapat membantu memberi pencerahan tentang asal-usul kata tersebut. Saya sudah konsultasi kepada budayawan Samawa: H. Hasanuddin dan Aries Zulkarnain tentang leman, beliau berdua memberi penjelasan yang seragam bahwa kata itu berasal dari maleman, kata dalam bahasa Jawa yang berarti malam. Dari kata maleman itulah diambil kata leman.
Dengan demikian, dila leman berarti pelita yang dibakar sebagai alat penerangan di waktu malam.
Dila leman bukan sembarang dila.
Dila leman merupakan pelita khusus yang dinyalakan pada malam-malam akhir bulan Ramadhan. Ada yang memulainya pada 10 malam terakhir, tapi ada pula yang memulainya sejak pertengahan Ramadhan.
Pemasangan dila leman dikaitkan dengan ajaran tentang Lailatul Qadar.
Ada cerita bahwa pada malam lailatul qadar Malaikat Jibril dan jutaan malaikat turun ke bumi. Malaikat tersebut akan berkeliling di muka bumi dan mendatangi rumah yang di depannya terpasang dila leman yang masih menyala. Malaikat tersebut akan membawa rahmat bagi penghuni rumah tersebut.
Itu cerita mitos. Anehnya, cerita mitos tersebut terdapat di hampir semua masyarakat Melayu di nusantara, baik di Indonesia maupun di negara-negara tetangganya seperti Malaysia, Singapura, Brunei, dan Thailand.
Berdasarkan kesamaan cerita tersebut, tradisi semacam dila leman pun terdapat pula di beberapa daerah di Nusantara.
Di Jawa dikenal dengan Damar Malam, seringkali ditambah dengan kata Likuran. Damar berarti pelita; Malam adalah sejenis lilin yang lunak dan menjadi bahan bakar; Likuran adalah ungkapan dalam bahasa Jawa untuk bilangan antara 21 sampai 29.
Dikenal juga dengan istilah Colokan, yaitu seutas kain yang dicolokkan di kayu dan dicelupkan ke dalam minyak tanah. Colokan ini sejenis obor kecil.
Pada masyarakat Melayu di Sumatra, Kalimantan, Semenanjung Malaysia, dikenal dengan Lampu Colok, atau Lampu Cangkok, atau Pelita Buluh. Lampu colok mirip dengan yang ada di Jawa, semacam obor. Lampu Cangkok semacam pelita yang diletakkan di ujung bambu. Buluh berarti bambu.
Cerita mitos di atas sebenarnya hanyalah upaya para Dea Guru, Tuan Guru, Kyai, Tengku Guru, dan sebutan lainnya untuk memotivasi masyarakat agar mau memasang Dila Leman dan sejenisnya di depan rumah di malam hari, khususnya di bagian akhir bulan Ramadhan.
Zaman dahulu belum ada listrik. Bahan bakar minyak pun masih sedikit dan merupakan barang mahal. Bila malam tiba, masyarakat membuat penerangan dengan membakar pelita. Sumbunya dibuat dari untaian kapuk, kapas, atau kain perca. Bahan bakarnya dibuat dari minyak tumbuh-tumbuhan seperti damar, jarak, kelapa, dan lainnya. Pelita itu akan mati di tengah malam ketika semua penghuni rumah sudah tertidur.
Pelita itulah yang menerangi masjid, langgar, atau surau di bulan Ramadhan ketika masyarakat melaksanakan shalat maghrib, isya', dan tarawih.
Di bulan Ramadhan akan ada Lailatul Qadar. Mayoritas berkeyakinan bahwa Lailatul Qadar akan turun di sepuluh malam ketiga bulan Ramadhan. Ada pula yang berkeyakinan Lailatul Qadar turun pada tanggal turunnya Al-Qur'an yang menurut sebagian ulama jatuh pada tanggal 17 Ramadhan.
Untuk mendapatkan berkah dari kemuliaan Lailatul Qadar, kaum muslimin dianjurkan untuk i'tikaf di masjid. Tetapi jalan gelap gulita.
Terciptalah tradisi Dila Leman.
Karena semua masyarakat memasang dila leman di depan rumahnya, maka jalan menjadi terang, sehingga menambah semangat kaum muslimin untuk pergi ke masjid di tengah malam, beri'tikaf, mengejar berkah Lailatul Qadar.
Tradisi Dila Leman merupakan bukti bahwa "Adat barenti lako syara', syara' barenti lako Kitabullah". Adat bersendi syara', syara' bersendi kitabullah.
Zaman sekarang, cahaya listrik sudah melimpah. Karena begitu melimpahnya sehingga kita saat ini seakan tidak lagi menikmati indahnya cahaya bulan purnama, kita saat ini sudah tidak tahu bagaimana cara menikmati indahnya rangkaian bintang di langit malam.
Dila Leman, Damar Malam, Pelita Buluh, dan saudara-saudaranya sudah tidak efektif lagi sebagai alat penerangan di malam hari.
Namun demikian, tradisi pelita malam likuran tersebut masih dilestarikan di beberapa tempat di nusantara, termasuk di negara-negara Melayu. Ada yang masih memasang seperti bentuk tradisionalnya, tapi ada pula yang sudah memodifikasi dengan teknologi kekinian.
Fungsinya bukan lagi sebagai alat penerangan, tetapi berubah sebagai fungsi perhiasan dan pelestarian budaya. Bahkan pada masyarakat Melayu di Sumatera diadakan festival lampu colok yang sangat meriah pada pertengahan Ramadhan setiap tahun. Abang Google jadi saksi. Silakan ketik "festival lampu colok" dan lihat gambar-gambarnya.
Ada pesan dari pelestarian budaya tersebut, yaitu agar kita dan anak-cucu kita paham bahwa budaya yang sedang kita lakoni tidak boleh lepas dari ajaran agama kita.
Bulan Ramadhan ini memberi peluang yang indah bagi kita untuk memahami prinsip hidup yang sangat penting itu.
Ditulis oleh K.H. Amir Ma'ruf Husein, S.Pd.I., M.M. di halaman Facebook pada 2 Mei 2020.
Dengan demikian, dila leman berarti pelita yang dibakar sebagai alat penerangan di waktu malam.
Dila leman bukan sembarang dila.
Dila leman merupakan pelita khusus yang dinyalakan pada malam-malam akhir bulan Ramadhan. Ada yang memulainya pada 10 malam terakhir, tapi ada pula yang memulainya sejak pertengahan Ramadhan.
Pemasangan dila leman dikaitkan dengan ajaran tentang Lailatul Qadar.
Ada cerita bahwa pada malam lailatul qadar Malaikat Jibril dan jutaan malaikat turun ke bumi. Malaikat tersebut akan berkeliling di muka bumi dan mendatangi rumah yang di depannya terpasang dila leman yang masih menyala. Malaikat tersebut akan membawa rahmat bagi penghuni rumah tersebut.
Itu cerita mitos. Anehnya, cerita mitos tersebut terdapat di hampir semua masyarakat Melayu di nusantara, baik di Indonesia maupun di negara-negara tetangganya seperti Malaysia, Singapura, Brunei, dan Thailand.
Berdasarkan kesamaan cerita tersebut, tradisi semacam dila leman pun terdapat pula di beberapa daerah di Nusantara.
Di Jawa dikenal dengan Damar Malam, seringkali ditambah dengan kata Likuran. Damar berarti pelita; Malam adalah sejenis lilin yang lunak dan menjadi bahan bakar; Likuran adalah ungkapan dalam bahasa Jawa untuk bilangan antara 21 sampai 29.
Dikenal juga dengan istilah Colokan, yaitu seutas kain yang dicolokkan di kayu dan dicelupkan ke dalam minyak tanah. Colokan ini sejenis obor kecil.
Pada masyarakat Melayu di Sumatra, Kalimantan, Semenanjung Malaysia, dikenal dengan Lampu Colok, atau Lampu Cangkok, atau Pelita Buluh. Lampu colok mirip dengan yang ada di Jawa, semacam obor. Lampu Cangkok semacam pelita yang diletakkan di ujung bambu. Buluh berarti bambu.
Cerita mitos di atas sebenarnya hanyalah upaya para Dea Guru, Tuan Guru, Kyai, Tengku Guru, dan sebutan lainnya untuk memotivasi masyarakat agar mau memasang Dila Leman dan sejenisnya di depan rumah di malam hari, khususnya di bagian akhir bulan Ramadhan.
Bagaimana cerita sebenarnya?
Zaman dahulu belum ada listrik. Bahan bakar minyak pun masih sedikit dan merupakan barang mahal. Bila malam tiba, masyarakat membuat penerangan dengan membakar pelita. Sumbunya dibuat dari untaian kapuk, kapas, atau kain perca. Bahan bakarnya dibuat dari minyak tumbuh-tumbuhan seperti damar, jarak, kelapa, dan lainnya. Pelita itu akan mati di tengah malam ketika semua penghuni rumah sudah tertidur.
Pelita itulah yang menerangi masjid, langgar, atau surau di bulan Ramadhan ketika masyarakat melaksanakan shalat maghrib, isya', dan tarawih.
Di bulan Ramadhan akan ada Lailatul Qadar. Mayoritas berkeyakinan bahwa Lailatul Qadar akan turun di sepuluh malam ketiga bulan Ramadhan. Ada pula yang berkeyakinan Lailatul Qadar turun pada tanggal turunnya Al-Qur'an yang menurut sebagian ulama jatuh pada tanggal 17 Ramadhan.
Untuk mendapatkan berkah dari kemuliaan Lailatul Qadar, kaum muslimin dianjurkan untuk i'tikaf di masjid. Tetapi jalan gelap gulita.
Terciptalah tradisi Dila Leman.
Karena semua masyarakat memasang dila leman di depan rumahnya, maka jalan menjadi terang, sehingga menambah semangat kaum muslimin untuk pergi ke masjid di tengah malam, beri'tikaf, mengejar berkah Lailatul Qadar.
Tradisi Dila Leman merupakan bukti bahwa "Adat barenti lako syara', syara' barenti lako Kitabullah". Adat bersendi syara', syara' bersendi kitabullah.
Zaman sekarang, cahaya listrik sudah melimpah. Karena begitu melimpahnya sehingga kita saat ini seakan tidak lagi menikmati indahnya cahaya bulan purnama, kita saat ini sudah tidak tahu bagaimana cara menikmati indahnya rangkaian bintang di langit malam.
Dila Leman, Damar Malam, Pelita Buluh, dan saudara-saudaranya sudah tidak efektif lagi sebagai alat penerangan di malam hari.
Namun demikian, tradisi pelita malam likuran tersebut masih dilestarikan di beberapa tempat di nusantara, termasuk di negara-negara Melayu. Ada yang masih memasang seperti bentuk tradisionalnya, tapi ada pula yang sudah memodifikasi dengan teknologi kekinian.
Fungsinya bukan lagi sebagai alat penerangan, tetapi berubah sebagai fungsi perhiasan dan pelestarian budaya. Bahkan pada masyarakat Melayu di Sumatera diadakan festival lampu colok yang sangat meriah pada pertengahan Ramadhan setiap tahun. Abang Google jadi saksi. Silakan ketik "festival lampu colok" dan lihat gambar-gambarnya.
Ada pesan dari pelestarian budaya tersebut, yaitu agar kita dan anak-cucu kita paham bahwa budaya yang sedang kita lakoni tidak boleh lepas dari ajaran agama kita.
Bulan Ramadhan ini memberi peluang yang indah bagi kita untuk memahami prinsip hidup yang sangat penting itu.
Ditulis oleh K.H. Amir Ma'ruf Husein, S.Pd.I., M.M. di halaman Facebook pada 2 Mei 2020.
Post a Comment
Post a Comment