Kadang ketika saya (baca: rakyat) mendengar atau membaca slogan yang berbunyi “bergerak bersama rakyat (baca: saya)” atau “berjuang bersama rakyat” atau kata-kata sejenis yang mengatasnamakan rakyat, hati ini serasa diiris-iris. Karena sangat tidak sesuai dengan kenyataannya—jauh panggang dari api. Sehingga muncul pertanyaan dalam pikiran saya, “memang bersama rakyat yang mana anda bergerak dan berjuang?”
Ini pendapat pribadi saja (atau bisa dikatakan saya orang yang sangat pesimis. Tak apalah), saat kita berpikir, bergerak dan berjuang atas nama rakyat. Pada dasarnya, sebagian besar perbuatan itu hanya untuk kepentingan pribadi, kelompok dan golongan kita. Ada benarnya juga pendapat Immanuel Kant yang mengatakan bahwa "manusia adalah makhluk sosial yang tidak sosial".
Slogan atau jargon tersebut akhir-akhir ini semakin banyak bertebaran dan terpampang di spanduk, baliho, leaflet dll mengingat tahun ini adalah tahun politik. Saat inilah yang tepat sebagai momen untuk “menjual” rakyat. Dengan tujuan bisa terpilih sebagai pemimpin dan/atau wakil rakyat.
Sebagaimana kita amati dan dengar tidak sedikit keputusan dan kebijakan yang diambil (oleh orang-orang yang menggunakan sloga atau jargon di atas) sangat jauh dari keberpihakan pada rakyat. Justru kebijakan-kebijakan tersebut malah mengarah kepada upaya penguatan kekuasaan dan lebih memberikan kemudahan kepada pihak korporasi atau pemodal dalam mengendalikan berbagai kebijakan yang jauh dari kepentingan rakyat.
Fakta di lapangan juga menunjukkan bahwa realita tidak mencerminkan seperti apa yang tertera dalam sloga dan jargon yang digunakan saat kampanye dan sosialisasi. Salah satu contoh: Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara/Daerah (APBN/APBD), kepentingan rakyat tidak sepenuhnya terakomodir dalam anggaran. Karena "mereka" sebagai representasi rakyat selama ini cendrung menempatkan posisinya sebagai “wakil partai”. Dominannya kepentingan partai politik mencengkram personalitas mereka yang berlangsung dalam jangka waktu yang cukup lama mengakibatkan mereka lebih “patuh” dengan partainya daripada rakyat yang memilihnya.
Sehingga dampak luas dari kebijakan dan persoalan-persoalan tersebut, rakyat semakin susah dan terjepit. Rakyat dipaksa untuk dapat menutupi kebutuhan sehari-harinya, di tengah kegagalan pemerintah dalam mengendalikan berbagai macam kebutuhan harga bahan pokok dan ini menambah penderitaan kesengsaran rakyat.
Saya menulis opini ini juga mengatasnamakan rakyat. Dan saya sendiripun sangsi: “apa benar ini gelisah rakyat atau memang hanya gelisah saya pribadi?” Tapi yang jelas ini adalah bagian kecil dari gelisah saya=bukan gelisah rakyat.
Sebelum mengakhiri opini atau yang lebih pas "tulisan ngelantur" ini saya ingin mengkutip sepenggal puisi A. Aris Abeba tentang politik:
Ini pendapat pribadi saja (atau bisa dikatakan saya orang yang sangat pesimis. Tak apalah), saat kita berpikir, bergerak dan berjuang atas nama rakyat. Pada dasarnya, sebagian besar perbuatan itu hanya untuk kepentingan pribadi, kelompok dan golongan kita. Ada benarnya juga pendapat Immanuel Kant yang mengatakan bahwa "manusia adalah makhluk sosial yang tidak sosial".
Slogan atau jargon tersebut akhir-akhir ini semakin banyak bertebaran dan terpampang di spanduk, baliho, leaflet dll mengingat tahun ini adalah tahun politik. Saat inilah yang tepat sebagai momen untuk “menjual” rakyat. Dengan tujuan bisa terpilih sebagai pemimpin dan/atau wakil rakyat.
Sebagaimana kita amati dan dengar tidak sedikit keputusan dan kebijakan yang diambil (oleh orang-orang yang menggunakan sloga atau jargon di atas) sangat jauh dari keberpihakan pada rakyat. Justru kebijakan-kebijakan tersebut malah mengarah kepada upaya penguatan kekuasaan dan lebih memberikan kemudahan kepada pihak korporasi atau pemodal dalam mengendalikan berbagai kebijakan yang jauh dari kepentingan rakyat.
Fakta di lapangan juga menunjukkan bahwa realita tidak mencerminkan seperti apa yang tertera dalam sloga dan jargon yang digunakan saat kampanye dan sosialisasi. Salah satu contoh: Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara/Daerah (APBN/APBD), kepentingan rakyat tidak sepenuhnya terakomodir dalam anggaran. Karena "mereka" sebagai representasi rakyat selama ini cendrung menempatkan posisinya sebagai “wakil partai”. Dominannya kepentingan partai politik mencengkram personalitas mereka yang berlangsung dalam jangka waktu yang cukup lama mengakibatkan mereka lebih “patuh” dengan partainya daripada rakyat yang memilihnya.
Sehingga dampak luas dari kebijakan dan persoalan-persoalan tersebut, rakyat semakin susah dan terjepit. Rakyat dipaksa untuk dapat menutupi kebutuhan sehari-harinya, di tengah kegagalan pemerintah dalam mengendalikan berbagai macam kebutuhan harga bahan pokok dan ini menambah penderitaan kesengsaran rakyat.
Saya menulis opini ini juga mengatasnamakan rakyat. Dan saya sendiripun sangsi: “apa benar ini gelisah rakyat atau memang hanya gelisah saya pribadi?” Tapi yang jelas ini adalah bagian kecil dari gelisah saya=bukan gelisah rakyat.
Sebelum mengakhiri opini atau yang lebih pas "tulisan ngelantur" ini saya ingin mengkutip sepenggal puisi A. Aris Abeba tentang politik:
berpolitik demi rakyatWallaahu a’lam bis shawaab
jangan khianat
jangan menjilat
diakherat hukum tak disunat
Bergerak bersama saya.. itu yg pas..!
ReplyDeleteBisa jadi itu yg benar...
ReplyDeleteKenapa membawa2 nama rakyat, krn mereka juga rakyat. jadi mewakili diri sendiri
ReplyDeleteBisa jadi. Kalau itu benar-benar terjadi, maka itu pembodohan terhadap rakyat
ReplyDeleteMantap
ReplyDeleteJangan lupa berkunjung juga www.victory-komputer.com
Makasih Gan telah berkunjung.
DeleteAlhamdulillah Sis. Semoga bermanfaat bagi kita semua.
ReplyDeleteKami pasti berkunjung ke blognya.