Kubisikkan kalimat adzan ke telingamu saat kau dilahirkan, agar kelak kau terjaga dari suara-suara dzalim. Kusematkan nama terindah, agar kelak pribadimu berpendar cahaya keelokan. Kulantunkan syair-syair keilahian, agar kelak kau mahir memilah kebajikan.
Kuajak berteriak ci-lu-ba, agar kelak kau adalah amanat dari yang memiliki jiwa kita.
Namun anakku, tatkala kesibukan menderu dari depan beranda, kasih sayang memburai dari jendela belakang rumah kita.
Hari demi hari aku sibuk memburu bayang-bayang kemuliaan, di antara riuh rendahnya persaingan dan pertikaian. Kebersamaan kita terpenggal oleh karier dan ambisi. Kukayuh satu kewajiban, dengan melepas kewajiban lainnya.
Segala awal manis kehadiranmu kini meredup tinggal cerita. Betapa lama kubiarkan kau sendirian. Kusisakan ruang kecil dalam batin untukmu, lantaran begitu banyak hal lain yang kuanggap besar.
Segala awal manis kehadiranmu kini meredup tinggal cerita. Betapa lama kubiarkan kau sendirian. Kusisakan ruang kecil dalam batin untukmu, lantaran begitu banyak hal lain yang kuanggap besar.
Kujawab sekenanya celoteh pertanyaanmu yang sarat keingintahuan. Padahal kutahu benar bahwa jawabanku sangat berarti dan akan tersemat dalam kalbumu.
Mengapa harus menyorongmu ke baby sitter bila kau rewel, dan membelaimu hanya ketika kau tampil manis. Menghardikmu dengan kasar jika kau lambat mengenakan kaos kakimu. Menjejalimu dengan nasihat, yang hanya pantas untuk orang dewasa, yang bahkan aku sendiri tidak pernah menjalankannya.
Terbayang kembali wajahmu yang pucat menyaksikanku mengaum, lantaran robot dan boneka mainanmu mengotori meja kerjaku. Dengan langkah tertatih kau seret kaki mungilmu, tanpa daya kau sembunyikan rasa takutmu di balik pintu.
Terbayang kembali wajahmu yang pucat menyaksikanku mengaum, lantaran robot dan boneka mainanmu mengotori meja kerjaku. Dengan langkah tertatih kau seret kaki mungilmu, tanpa daya kau sembunyikan rasa takutmu di balik pintu.
Kau tak pernah protes, sekali pun tak pernah…
Mengapa tak kuraih tubuhmu rebah dalam pelukkanku, anakku… dan kujelaskan takzim apa-apa yang ingin kau rekam dalam benakmu.
Kucoba menghitung detik demi detik, kapan gerangan aku sungguh-sungguh bersamamu.
Ya Rabbi… ternyata aku kikir memberimu cinta, sementara tuntutanku seluas samudera.
Kujebeloskan kau ke sekolah mahal, agar gurunya mengambil peranku menyulapmu menjadi insan dambaan orangtua, nusa dan bangsa.
Kucoba sembunyi di balik alasan sibuk mencari nafkah—sesuatu yang aku agung-agungkan selama ini.
Namun, aku tak sanggup menatap cermin muka beningmu, anakku, karena di sana terpantul kerut-kerut hitamku.
Aku terkejut ketika mendapatimu sudah begitu besar. Kau telah bisa berdebat dan menyodorkan pendapat yang masuk akal. Tak ada lagi “Winnie The Pooh”, “Simba” atau “Kancil Nyolong Timun”. Bibirmu begitu fasih mengikuti Peterpan dan lagu-lagu rap. Tawamu kini lepas terurai mendengar humor orang dewasa.
Aku terkejut ketika mendapatimu sudah begitu besar. Kau telah bisa berdebat dan menyodorkan pendapat yang masuk akal. Tak ada lagi “Winnie The Pooh”, “Simba” atau “Kancil Nyolong Timun”. Bibirmu begitu fasih mengikuti Peterpan dan lagu-lagu rap. Tawamu kini lepas terurai mendengar humor orang dewasa.
Aku terhenyak merasakan kisaran waktu yang memburu, menggebu hasrat ingin memelukmu, namun kau terlanjur besar untuk kupeluk.
Kuniatkan untuk kembali pulang kepadamu, anakku… dengan segenap rasa bersalah. Akan ku coba memilin kembali pertalian kita yang telah terburai. Akan kubangun kembali peranku sebagai orangtua, betapapun karier mengharuskanku bergelimang dalam jelaga.
Kuniatkan untuk kembali pulang kepadamu, anakku… dengan segenap rasa bersalah. Akan ku coba memilin kembali pertalian kita yang telah terburai. Akan kubangun kembali peranku sebagai orangtua, betapapun karier mengharuskanku bergelimang dalam jelaga.
Telah kusiapkan sejuta kisah, tentang lebah dan rama-rama… tentang kebajikan, padang-padang hijau dan sungai-sungai susu yang mengalir di bawahnya.
Buah hatiku… semoga engkau masih mau mendengarnya.
Dikutip dari Buku Jalan Tikus Menuju Kekuasaan, Joko Santoso HP
so sad
ReplyDeleteSemoga bisa menjadi renungan buat kita semua. Amin
DeleteCeritanya sunnguh menyentuh
ReplyDeleteMakasih sudah berkunjung Gan. Semoga bisa memberi manfaat bagi kita semua Gan.
DeleteKita kadang lupa dengan waktu sampai akhirnya sadar bhwa ternyata anak" sudah tumbuh besar dan waktu tak bisa diulang.. Kdng pwnyesalan mmg datang terlambat. Dulu sewaktu mereka kecil kt menganggap jk mreka hanyalah anak kecil belaka yg tidak tahu apa"dng kepolosan mereka.. Sampai akhirnya kita sadar bhw mereka kini sdh tumbuh dewasa... Nice pak.. Semoga ksh sayang kt pd anak ga akan berkurang sdktpun.
ReplyDeleteAmin Mbak. Keluarga adalah yg utama Mbak. Apapun kesibukan kita jgn sampai kita terlena dan lupa akan keluarga kita Mbak.
Deletetersentuh hati saya ketika membaca tulisan ini, dan semoga kelak saat punya anak nanti bisa selalu ada bersamanya ketika dia sedang sedih, kecewa, tertawa dan bahagia. Supaya di setiap momennya tumbuh, saya selalu ada.
ReplyDeleteAmin ya robbal'alamin. Anak2 hanya tahu kita ada waktu bermain dan bercanda dengan mereka. Untuk itu, kita harus berusaha semaksimal mungkin agar meluangkan waktu untuk mereka selagi mereka masih kecil. Kelak jika mereka sudah besar dan berkeluarga kita tdk ada kesempatan lagi
Delete