Beberapa hari lalu, saya selalu berdoa dengan optimisme bahwa COVID-19 akan reda lepas ramadhan. Namun sejak kemarin, ketika tagar #indonesiaterserah ramai beredar disertai foto-foto makhluk berkerumun, hati tersentak, Takut sejadi-jadinya.
Tidak hanya satu atau dua gambar. Bahkan foto-foto krumunan itu bercerita tentang berbagai tempat yang sangat familiar. Bandara, mall, dan pusat keramaian lainnya. Ohhh, I know why!! Saya pernah kena tipes gara-gara gak shopping dan nongki rutin bulanan. Bukan hanya itu, Magg saya kambuh gara-gara melewatkan diskon besar-besaran toko 'kapitalis' itu. Bahkan saat itu sempat berpikir, mending mati nyawa daripada mati gaya.
"Kan mumpung dibuka!" Oh iya juga sih, saya hampir lupa, Kalian kan sanggup bayar BPJS yang "mahal" itu! Saya juga lupa kalian teman COVID-19 yang ingin mengajak kita berdamai dengannya! Maafkan kegoblokkan saya terlalu ikut campur cara berpikir kalian Heb! #terserahlah
Begitulah awal mula hati saya meneriakkan #terserah di tengah pandemi. Lalu Saya bayangkan mereka NAKES sebagai backliner pun wajar jengkel dan bahkan emosi.
Saya teringat TIM sepakbola di RT Saya dulu. Posisi TIM saya ketinggalan dengan skor 2-1. Empat Pemain belakang kami tangguh. Karena tidak sabar, pelatih kami berteriak di luar untuk mengubah gaya bermain, tiki-taka. Sementara tidak ada satupun yang faham bagaimana tiki-taka itu. Pemain belakang kesal, karena terlalu capek menghalau bola yang datang terus-menerus karena lini tengah dan depan goblok tiki-taka. Akhirnya mereka teriak dari dalam lapangan kepada pelatih dan semua pemain #terserahlah. Posisi skor? 15-1. Sejak kejadian itu TIM kita bubar, pelatihnya direkrut oleh tim lain sebagai petugas potong rumput lapangan. Teman satu tim saya? Bertani, sekolah, entahlah
"Apakah itu pengalaman saya sebagai pemain belakang?" Bukan. Dalam tim saya hanya pemain cadangan yang tugasnya lebih banyak bersorak dan berdoa.
Begitupun sekarang, Saya tetap berusaha berbaik sangka dengan segala keputusan dan kebijakan pemerintah. Mungkin saja ada hal-hal atau pertimbangan lain seperti ekonomi yang perlu diimbangi agar negara tidak terpuruk karena menjadi Muslim itu resikonya: kita tak boleh berhenti peduli.
Walau yang punya wewenang tak peduli.
Wallahualam bi shawab
#indonesiaterserah semoga tidak berujung musibah. Entahlah!
#ramadhankareem
#kepadaAllahkamiberserah
Penulis: Samsun Hidayat
Tidak hanya satu atau dua gambar. Bahkan foto-foto krumunan itu bercerita tentang berbagai tempat yang sangat familiar. Bandara, mall, dan pusat keramaian lainnya. Ohhh, I know why!! Saya pernah kena tipes gara-gara gak shopping dan nongki rutin bulanan. Bukan hanya itu, Magg saya kambuh gara-gara melewatkan diskon besar-besaran toko 'kapitalis' itu. Bahkan saat itu sempat berpikir, mending mati nyawa daripada mati gaya.
"Kan mumpung dibuka!" Oh iya juga sih, saya hampir lupa, Kalian kan sanggup bayar BPJS yang "mahal" itu! Saya juga lupa kalian teman COVID-19 yang ingin mengajak kita berdamai dengannya! Maafkan kegoblokkan saya terlalu ikut campur cara berpikir kalian Heb! #terserahlah
Begitulah awal mula hati saya meneriakkan #terserah di tengah pandemi. Lalu Saya bayangkan mereka NAKES sebagai backliner pun wajar jengkel dan bahkan emosi.
Saya teringat TIM sepakbola di RT Saya dulu. Posisi TIM saya ketinggalan dengan skor 2-1. Empat Pemain belakang kami tangguh. Karena tidak sabar, pelatih kami berteriak di luar untuk mengubah gaya bermain, tiki-taka. Sementara tidak ada satupun yang faham bagaimana tiki-taka itu. Pemain belakang kesal, karena terlalu capek menghalau bola yang datang terus-menerus karena lini tengah dan depan goblok tiki-taka. Akhirnya mereka teriak dari dalam lapangan kepada pelatih dan semua pemain #terserahlah. Posisi skor? 15-1. Sejak kejadian itu TIM kita bubar, pelatihnya direkrut oleh tim lain sebagai petugas potong rumput lapangan. Teman satu tim saya? Bertani, sekolah, entahlah
"Apakah itu pengalaman saya sebagai pemain belakang?" Bukan. Dalam tim saya hanya pemain cadangan yang tugasnya lebih banyak bersorak dan berdoa.
Begitupun sekarang, Saya tetap berusaha berbaik sangka dengan segala keputusan dan kebijakan pemerintah. Mungkin saja ada hal-hal atau pertimbangan lain seperti ekonomi yang perlu diimbangi agar negara tidak terpuruk karena menjadi Muslim itu resikonya: kita tak boleh berhenti peduli.
Walau yang punya wewenang tak peduli.
Wallahualam bi shawab
#indonesiaterserah semoga tidak berujung musibah. Entahlah!
#ramadhankareem
#kepadaAllahkamiberserah
Penulis: Samsun Hidayat
Terserah aja deh haha
ReplyDeleteIya terserah lah Mas. Hehehehe
Deleteya, masarakat yang sulit diatur
ReplyDeleteItu salah satu faktor Mas. Namun kadang juga faktor yg paling menentukan adalah kebijakan Mas. Kebijakan harus tegas dan jelas. Krn masyarakat bisa "dipaksa" untuk mentaati kebijakan tersebut
DeleteSedih banget kalau lihat kondisi sekarang ini ya mas, #terserahlah jd punya makna dalam karena para nakes sudah berjuang mati"an di garda terdepan sementara para masyarakat yg dipedulikan malah apatis menerobos semua anjuran yg ada. Miris tp begitu faktanya 😿
ReplyDeleteJadi bagi Nakes #terserahlah bukan berarti menyerah. Untuk itu, seharusnya kita sebagai masyarakat harus menaati perintah dan anjuran pemerintah. Dan juga sebagai pemerintah haruslah tegas dalam mengeluarkan perintah dan anjuran sehingga penyebaran virus dapat tertangani dengan baik dan benar dan korbanpun bisa diminimalisir.
Delete