SEdXx5lkiVZf4jiMtlFWfVgHxR2UbYmUAP1TopcR

Takjil

makna-takjil

Dalam Bahasa Arab kata “takjil” dengan hamzah (تأجيل) berarti ta’khir (تأخير) atau mengakhirkan, sedangkan “takjil” dengan ‘ain (تعجيل) berarti tasri’ (تسريع) atau percepatan. Di Indonesia, apalagi di bulan Ramadhan, kata “takjil” lebih menjurus kepada kata yang menggunakan ‘ain dan berarti percepatan, maka “takjil” yang menggunakan hamzah dan berarti mengakhirkan diganti dengan kata “ta’khir”.

Di antara sunnah dalam ibadah shiyam adalah ta'khir sahur (mengakhirkan santap sahur mendekati waktu masuk Subuh) dan takjil ifthar (menyegerakan berbuka ketika masuk waktu maghrib).

Tradisi masyarakat kita adalah menyediakan berbagai makanan dan minuman ringan untuk buka puasa seperti kolak, es buah, kurma, buah-buahan dan sebagainya yang dikonsumsi ketika terdengar azan maghrib. Lama-kelamaan makanan dan minuman untuk berbuka puasa tersebut disebut dengan takjil. Bahkan ada pasar takjil khusus yang menjual berbagai jenis makanan dan minuman untuk berbuka puasa.

Ketika media sosial sudah mewarnai kehidupan sehari-hari, baik facebook, twitter, instagram, whatsapp, dan sebagainya, masyarakat mulai terbiasa juga memamerkan makanan dan minuman yang menjadi takjil mereka di media sosial.

Tiba-tiba.. Saya membaca status seseorang yang memosting foto kondisi kaum muslimin yang hanya bisa berbuka dengan beberapa teguk air putih dengan background gubug yang tidak layak huni. Catatan foto tersebut berbunyi: Layakkah kita memajang foto makanan dan minuman yang lezat?

Saya spontan teringat hadits Rasulullah: "Wahai Abu Dzar, jika engkau memasak makanan berkuah, maka perbanyak kuahnya dan perhatikan tetangga-tetanggamu!" (HR. Muslim)

Kenapa Rasulullah mengajar seperti itu kepada Abu Dzar? Bukankah Abu Dzar tidak termasuk sahabat yang kaya?

Yang saya pahami adalah kemungkinan bahwa ketika makanan berkuah itu sedang dimasak, aromanya bisa saja terbang kemana-mana dan sampai ke hidung tetangga. Jika hidung sudah mencium aroma masakan, selayaknyalah lidah juga mengecap rasa masakan yang dimasak. Demikianlah Rasulullah mengajarkan hablum minan nas, interaksi sesama manusia.

Bagaimana dengan mata yang melihat makanan dan minuman lezat yang dipamerkan oleh seseorang?

Jika mengambil pelajaran dari hadits Rasulullah di atas, semestinya setiap mata yang melihat mempunyai hak untuk menikmati kelezatan makanan dan minuman yang dipamerkan. Kalau yang memosting foto makanan dan minuman yang lezat di media sosial tidak berniat untuk berbagi, lantas apa niatnya ketika memosting foto?

Kalau mereka yang berjualan takjil sudah jelas motivasinya: mengenalkan jenis takjil yang dijualnya dan promosi. Yang ini dimaklumi. Tapi kalau bisa berbagi kepada tetangga yang sempat mencium aroma masakan, akan lebih baik.

Berbagi makanan kepada orang yang berpuasa, khususnya kepada mereka yang membutuhkan, adalah bentuk kebaikan yang sanggat tinggi nilainya di Bulan Ramadhan. Yang membutuhkan adalah kelompok fakir dan miskin; dan kelompok yang sedang berjuang fi sabilillah.

Tiba-tiba lagi, Saya membaca status seseorang yang berkata:

Esok, belilah takjil di tempat orang yang tidak banyak pembelinya. meskipun tidak berniat membelinya. Siapa tahu, uang kita bermanfaat bagi keluarga oang yang menjual takjil itu.

Related Posts
SHARE

Related Posts

Langganan Artikel Terbaru

Post a Comment

x

Berlangganan

Dapatkan pemberitahuan melalui email setiap ada artikel baru.