SEdXx5lkiVZf4jiMtlFWfVgHxR2UbYmUAP1TopcR

Oposisi

oposisi
Solidaritas diperlukan dalam melakukan perjuangan untuk kepentingan bersama, atau untuk kepentingan orang banyak. Solidaritas ini diperlukan bahkan ketika orang berupaya untuk menegakkan kebenaran. Upaya seperti ini harus pula didukung oleh kelompok solidaritas yang akan memberikan aspek kekuatan dan kekuasaan kepada apa yang akan diperjuangkan itu.

Karena itu, jangan melakukan oposisi terhadap negara apabila gerakan oposisi itu tidak ditunjang oleh semangat dan kelompok solidaritas yang kuat.

Memaksakan diri menyandang beban yang di luar kemampuan manusia untuk memikulnya adalah perbuatan yang tidak dianjurkan oleh ajaran agama. Agama hanya memberikan kewajiban kepada orang sesuai dengan tenaga dan kemampuan yang dimilikinya. Dalam sebuah hadits dikemukakan: "Barangsiapa di antara kamu melihat kemungkaran, hendaklah ia mengubah dengan tangannya. Kalau ia tidak mampu, dengan lidahnya. Kalau ia tidak mampu, dengan hatinya".

Kekuasaan penguasa negara itu adalah kekuasaan yang mantap dan mempunyai akar yang dalam. Kekuatan seperti ini baru dapat digoyahkan dan dihancurkan sama sekali apabila dilakukan dengan perlawanan yang cukup kuat, yang didukung oleh kelompok solidaritas. Para nabi pun harus didukung oleh kelompok solidaritas seperti ini, padahal mereka itu mendapat dukungan yang kuat dari Allah, kalau perlu dengan kekuatan seluruh alam semesta ini. Sebabnya adalah karena Allah melaksanakan segala urusan tidak selamanya berdasarkan mukjizat atau kekuasaan yang luar biasa, akan tetapi pada umumnya berdasarkan adat kebiasaan yang biasa berlaku di dalam masyarakat manusia. Begitulah pendapat Ibnu Khaldun.

Kesalahan yang fatal dalam sejarah seringkali terjadi karena tindakan-tindakan orang-orang yang tidak memperhatikan faktor solidaritas ini. Orang-orang seperti ini berpendapat bahwa karena apa yang mereka perjuangkan itu adalah benar, mereka akan dapat saja memperjuangkannya, meskipun tidak didukung oleh kelompok solidaritas yang memadai.

Dari sinilah berasalnya malapetaka yang sudah pasti akan menimpanya. Pada akhirnya orang-orang seperti itu hancur dan binasa demikian saja. Jadi faktor solidaritas ini tetap merupakan faktor yang penting dalam segala gerakan yang berkenaan dengan massa dan orang banyak seperti gerakan-gerakan politik, termasuk di dalamnya gerakan-gerakan agama.

Sepintas lalu, tampak bahwa pendapat ini adalah suatu pendapat yang mengundang rakyat untuk bersifat pasif dan menyerah terhadap penguasa dan negara yang bertindak sewenang-wenang. Akan tetapi kalau diperhatikan lebih dalam lagi pada hakikatnya bukan mengundang orang untuk bersikap tunduk dan menyerah saja.

Pendapat ini merupakan nasihat apabila ada seseorang atau suatu kelompok yang ingin mengadakan suatu oposisi yang bersifat konfrontatif terhadap pengauasa negara, hal itu hendaknya dilakukan dengan menyusun suatu oposisi yang kuat, yang didukung oleh kelompok solidaritas yang memadai, sehingga upaya yang dilakukan itu tidak menjadi usaha dan pengorbanan yang sia-sia, suatu perbuatan yang sesungguhnya dilarang oleh ajaran agama sendiri. Allah sendiri melaksanakan segala sesuatunya dalam sejarah berdasarkan adat kebiasaan yang biasa berlaku dalam sejarah itu (ajra al-umuura 'ala mustaqarri al-'aadah).

Sebagai kesimpulan, bahwa negara adalah puncak tertinggi yang dapat dicapai kekuasaan dalam perjalannya. Negara adalah tempat manusia bekerjasama untuk memenuhi kebutuhan masing-masing, dan memperbaik kualitas hidupnya. Untuk sampai kepada tingkat negara itu orang yang mempunyai persyaratan untuk menjadi penguasa negara memerlukan dukungan solidaritas yang akan mengantar kepada tujuannya. Meskipun ketidakadilan seringkali terjadi dalam praktik-praktik penyelenggaraan negara, negara adalah satu-satunya harapan manusia untuk menegakkan kestabilan yang diperlukan dalam melestarikan diri dan dalam membangun dunia.

Oposisi terhadap negara memang sukar dilakukan karena kekuasaannya yang telah sempurna. Dan juga bahwa struktur negara itu adalah suatu struktur yang tertanam akarnya di atas bumi, sehingga tidak akan dapat dibongkar oleh kekuatan yang setengah-setengah saja. Untuk melakukan oposisi yang efektif kepada negara diperlukan sutau kekuatan solidaritas yang lebih kuat dari kekuatan solidaritas yang dimiliki negara itu.

Kalau tidak demikian halnya, tindakan melakukan oposisi kepada negara yang sedang kuat-kuatnya adalah suatu tindakan yang bersifat menghancurkan diri sendiri, yaitu suatu praktik yang dilarang agama sendiri. Karena itu setiap oposisi hanya memiliki kemungkinan untuk berhasil apabila didukung oleh kelompok solidaritas yang kuat pula. Kalau tidak, biasanya upaya yang demikian itu akan sia-sia saja.

Mungkin sebagian dari kita akan bertanya-tanya, kita diajak untuk patuh kepada kekuasaan negara demikian saja, terlepas dari kenyataan apakah penguasa yang sedang berkuasa melaksanakan kekuasaannya menurut semestinya, atau telah melakukan tindakan yang sewenang-wenang? Dan bagaimana dengan ajaran agama yang amat menganjurkan orang untuk menyeruh melakukan kebaikan dan melarang melakukan kejahatan, atau yang lebih terkenal dengan ungkapan "amar ma'ruf nahi mungkar".

Dari kewajiban "amar ma'ruf nahi mungkar" itu dapat diambil kesimpulan bahwa tugas seorang manusia dalam masyarakat adalah membangun dalam pengertian yang umum, terutama dalam hal-hal yang berkenaan dengan moralitas. Warga negara yang dianggap baik dalam pandangan ajaran agama itu adalah warga negara yang partisipatif, dengan pengertian tidak berdiam diri saja melihat kejahatan yang dilakukan orang di sekelilingnya.

Jadi apabila seorang melihat penguasa melakukan suatu hal yang bertentangan dengan hukum dan keadilan, kewajibannya adalah memberitahukan hal itu kepada penguasa yang bersangkutan, agar ia kembali kepada kebenaran dan bertobat kepada Tuhan. Praktik-praktik seperti ini sering terjadi di zaman Nabi dan para sahabat beliau. Akan tetapi di zaman itu keinginan untuk tetap berada di jalur kebenaran cukup kuat tertanam di dalam masyarakat, sehingga biasanya penguasa yang mendapat kritikan keras dari warganya akan kembali kepada kebenaran dengan segala kesenangan hati. Praktik seperti ini dianggap bagian dari nasihat-menasihati, suatu hal yang sangat didorong dalam ajaran agama, dan malah dianggap sebagai inti dari agama itu.

Akan tetapi di masa-masa berikutnya, loyalitas kepada kebenaran dan keadilan tidak begitu kuat tertanam dalam masyarakat. Setiap nasihat yang diberikan warga mungkin diterima oleh penguasa dengan perasaan dendam, dan ia merasa bahwa kewibawaanya telah dilanggar oleh warga yang bersangkutan. Karena itu, setiap orang yang memberikan oposisi dan kritik kepada penguasa dianggapnya sebagai pembangkangan terhadap kekuasaannya.

Dalam situasi seperti ini janganlah kita melakukan oposisi terhadap negara, karena hanya akan mencelakakan diri yang bersangkutan saja. Sedangkan kewajiban "amar ma'ruf nahi mungkar" itu dalam hadits ada tingkat-tingkatnya, yaitu kalau bisa dengan pebuatan, kalau tidak bisa dengan perbuatan, dengan lidah, dan kalau tidak bisa dengan lidah, di dalam hati saja. Dan memang hal yang terakhir ini dianggap sebagai keimanan yang paling lemah.

Wallahua'lam bis shawab.
Related Posts
SHARE

Related Posts

Langganan Artikel Terbaru

Post a Comment

x

Berlangganan

Dapatkan pemberitahuan melalui email setiap ada artikel baru.