SEdXx5lkiVZf4jiMtlFWfVgHxR2UbYmUAP1TopcR

Ramadhaniyat; Baju Baru

baju-baru-saat-idul-fitri
Hari raya Idul Fitri adalah hari kegembiraan. Rasulullah mengharapkan agar pada hari raya Idul Fitri tidak ada satu pun muslim atau muslimah yang bersedih. Itulah di antara hikmah syariat zakat fitrah yang harus selesai distribusi sebelum pelaksanaan shalat id.

Rasulullah pun menganjurkan umatnya agar bergembira menyambut hari raya Idul Fitri, sehingga ketika shalat idul fitri, kaum perempuan yang sedang berhalangan syar'i pun dianjurkan untuk hadir di lapangan, meskipun tidak ikut shalat, agar bisa merayakan kegembiraan.

Untuk menunjukkan kegembiraan atas kedatangan hari raya Idul Fitri, kaum muslimin dianjurkan untuk:
  1. Membersihkan dan menghias rumah, halaman, dan kampungnya.
  2. Berhias diri dengan pakaian terbaik yang dimiliki.
  3. Bersilaturrahim dengan keluarga, tetangga, dan sahabat.
  4. Menyediakan minuman dan makanan ringan bagi keluarga, tetangga, dan sahabat yang datang bersilaturrahim.
Alhamdulillah, tradisi menyambut Idul Fitri seperti yang dianjurkan di atas sudah dilaksanakan oleh seluruh kaum muslimin di seluruh dunia.

Bahkan, di zaman media sosial saat ini, kegembiraan itu pun ditampakkan melalui tradisi saling memberi ucapan selamat atau tarhib atau tahni'ah.

Di masa wabah Corona saat ini, beberapa tradisi terpaksa tidak bisa dilakukan. Kita bersabar untuk mengikuti protokol penanggulangan COVID-19. Kita tidak berkunjung ke rumah saudara, kerabat, sahabat, dan tetangga kita. Kita cukup bersilaturrahim secara online.

Namun demikian, sebisa mungkin kegembiraan Idul Fitri kita tunjukkan.

Jadi, nggak apa-apa beli baju baru untuk memeriahkan Idul Fitri, asal tidak terlalu berlebihan; asal tidak disertai dengan persaingan kekayaan.

Terkait dengan baju baru di hari raya, ada sebuah kisah:

Ketika Rasulullah hendak berangkat untuk shalat id, dilihatnya ada sekelompok anak bermain di tanah lapang. tetapi ada seorang anak yang duduk menyendiri, wajahnya kusut, bajunya compang-camping dan kotor, menangis tersedu-sedu.

Rasulullah pun mendekati seraya bertanya, "Mengapa engkau menangis dan tidak bermain bersama anak-anak yang lain?"

Anak itu yang belum kenal orang yang menyapanya pun menjawab, "Bagaimana aku tidak bersedih, paman? Ayahku gugur ketika pergi berperang bersama Rasulullah. Ibuku kawin lagi. Ayah tiriku menghabiskan hartaku dan mengusirku dari rumah. Aku sekarang yatim, sebatang-kara, gelandangan, lapar, dan telanjang. Ketika kulihat teman-temanku bermain dengan baju baru mereka, kesedihanku memuncak. Bagaimana aku tidak menangis, paman?"

Rasulullah kemudian memeluk anak, mengusap kepalanya, seraya berkata, "Maukah kau aku menjadi ayahmu, Aisyah menjadi ibumu, Fatimah menjadi kakak perempuanmu, Ali menjadi pamanmu, Hasan dan Husein menjadi saudara-saudaramu?"

Anak itu pun tahu bahwa orang yang di hadapannya adalah Rasulullah. Dengan serta-merta anak itu tertawa dan berkata, "Aku mau ya Rasulullah!"

Rasulullah pun membawa anak itu pulang. Memberinya makan, membersihkan badannya, memberinya baju yang layak, memberinya parfum, kemudian menyuruhnya pergi bermain dengan anak-anak yang lain.

Anak itu pun berlari ke lapangan dan bergabung dengan anak-anak yang lain. Temannya heran, "Tadi aku lihat engkau menangis sendirian. Kenapa sekarang engkau tampak lebih bagus dan bergembira?"

"Aku tadi lapar, sekarang aku sudah kenyang. Aku tadi telanjang, sekarang aku sudah berpakaian bagus. Aku tadi yatim sebatang kara, sekarang aku sudah punya Rasulullah sebagai ayahku, Aisyah sebagai ibuku, Fatimah sebagai kakakku, Ali sebagai pamanku, Hasan dan Husein sebagai adik-adikku."

Anak-anak lain mendengar sambil merasa iri, sehingga tanpa sadar mereka bergumam, "Andaikan saja ayahku gugur dalam berperang bersama Rasulullah, tentu aku akan mendapat kemuliaan seperti itu."

Sejak saat itu anak yatim itu di bawah pengasuhan Rasulullah. Tidak lama kemudian Rasulullah wafat. Ketika anak itu mendengar berita Rasulullah wafat, spontan anak itu keluar rumah sambil menangis meraung-raung dan menaburkan pasir ke atas kepalanya. Para sahabat yang melihatnya merasa sangat iba dan hendak mengangkatnya sebagai anak. Abu Bakar As-Shiddiq yang kemudian menggantikan Rasulullah sebagai ayah angkatnya.

Sayang... Cerita di atas hanyalah dongeng, bukan hadits. Hanya rekaan para juru dongeng yang mendramatisir dari kisah nyata seorang sahabat yang ayahnya gugur di Perang Uhud.

Dari Basyir bin Aqrabah ra berkata: "Ketika ayahku gugur pada perang Uhud, aku mendatangi Rasulullah sambil menangis. Rasulullah pun berkata, "Sayang, kenapa kau menangis. Tidak maukah kau jika aku menjadi ayahmu dan Aisyah menjadi ibumu?" Aku menjawab, "Demi ayah dan ibuku, aku mau ya Rasulullah." Rasulullah pun mengusap kepalaku." (HR. Bukhari).

Hadits itulah yang menginspirasi para pendongeng menggubah cerita yang sangat indah di atas.

Saya sampaikan cerita di atas untuk memberitahu hakekat sebenarnya dari cerita tersebut, karena saya yakin banyak orang yang akan menceritakannya dan menyebutnya sebagai hadits.

Inspirasi dari cerita dongeng dan hadits yang menjadi sumbernya adalah bahwa di hari Raya Idul Fitri hendaknya kaum muslimin yang berkemampuan membeli baju baru bagi keluarganya agar tidak lupa bahwa masih banyak anak-anak kaum muslimin yang juga kepengen untuk memakai baju baru pada hari raya Idul Fitri. Jangan sampai mereka menyesalkan keadaan ekonomi orang tuanya yang kurang beruntung.

Bukankah kebahagiaan di Idul Fitri akan semakin lengkap jika orang lain bahagia karena kita?

Penulis: K.H. Amir Ma'ruf Husein, S.Pd.I., M.M.
Related Posts
SHARE

Related Posts

Langganan Artikel Terbaru

Post a Comment

x

Berlangganan

Dapatkan pemberitahuan melalui email setiap ada artikel baru.